Memantik Kesadaran Kritis Entitas Nusa Utara dalam Inisiasi Gerakan Progresif

R1
R1
...

Oleh: Jerry F. G. Bambuta (FORUM LITERASI MASYARAKAT)

Rosa Luxemburg pernah berkata, "Mereka yang tidak bergerak, tidak akan pernah menyadari bahwa mereka dirantai". Perkataan tersebut merupakan kritik tajam terhadap kondisi masyarakat apatis dan pesimis yang sadar/tidak sadar sementara di pasung oleh kondisi feodalis, inferior, marginalisasi dan ketimpangan ironis lainnya. Rosa Luxemburg di kenal luas sebagai salah satu tokoh gerakan buruh Jerman, dan juga seorang pemikir Marxisme.

Saya mencoba menggali arti kontekstual "tak bergerak" dalam kutipan perkataan Rosa Luxemburg, menurut saya, pengertiannya bisa merujuk pada keengganan sebuah entitas untuk bernalar kritis terhadap berbagai realitas aktual. Karena tak adanya akulturasi bernalar kritis, maka kesadaran dan kepekaan sosial dalam masyarakat menjadi buta, tuli dan lumpuh. Apatisme dan pesimisme tak bedanya dengan wabah sosial yang berpotensi menciptakan "silent majority".

Populasi "silent majority" berkembang biak di sebabkan karena faktor tak peduli (apatis), apriori, dan faktor tidak tahu (unknown). Faktor "tidak tahu" ini bisa berakar dari dua penyebab, jika bukan karena "kebodohan publik", maka bisa di picu oleh karena "pembodohan publik". Kondisi stgnan ini akan terus berlarut-larut dan mengental menjadi sistem penindasan dalam rentang waktu yang lama. Bahkan, saking melembaga sekian lama, sistem penindasan ini akan menjadi lazim dan kian tak di sadari dalam ruang publik.

Saya mengutip untaian kalimat dari seorang penulis, bahwa rantai penindasan tidak selalu tampak dalam bentuk kekerasan fisik. Rantai penindasan bisa hadir dalam bentuk rutinitas, kenyamanan semu, atau ideologi dominan yang membius kesadaran kritis (atau malah bukan cuma membius, tapi cenderung mematikam kesadaran kritis).

Dari penggalan kata Luxemburg di atas, nalar dan nurani kita di ketuk bahwa kesadaran kritis tidak muncul secara otomatis. Kesadaran kritis dan kepekaan sosial terlahir karena adanya sebuah proses bergerak setiap individu dalam basis kolektif. Individu dalam basis kolektif harus bergerak dalam aksi, perjuangan dan keterlibatan aktif untuk merintis perubahan.  Upaya ini di bangun dengan menggalang semua elemen kemitraan secara strategis.

Dengan adanya inisiasi progresif ini akan membuat mata publik tercelik dari kondisi apatis dan pesimis membelenggu. Setiap individu dalam sebuah basis kolektif akan mulai membaca hegemoni dan struktur dari sistem penindasan atas mereka. Gerakan progresif untuk perubahan akan mulai di inisiasi secara solid dan masif. Tadinya, kekuatan sosial yang sifatnya heterogen dan sporadis (terpecah-pecah) akan mulai terkoagulasi dalam satu konsensus kolektif menuju perubahan yang visioner dan membumi.

Jika tak ada gerakan progresif, maka basis kolektif yang mendiami arus bawah akan menganggap penindasan/ketidak adilan sebagai hal yang lumrah, atau lebih tragis lagi, menganggap kondisi inferior diri sebagai takdir kehidupan yang terpaksa harus di lalui hingga masuk ke liang lahat. Posisi acuh tak acuh terhadap keadaan timpang adalah bentuk partisipasi pasif yang mengambil bagian melanggengkan status quo.

Bagaimana dengan entitas masyarakat nusa utara?

Entitas nusa utara mencakup dua kompartemen, yaitu kompartemen etnis dan kompartemen teritorial. Kompartemen etnis merujuk pada populasi masyarakat nusa utara dari kabupaten Sangihe, Talaud dan Sitaro. Kompartemen etnis ini memiliki dua sisi, yaitu yang mendiami ruang lokalitas (domisili lokal) dan diaspora (masyarakat nusa utara perantau).

Sedangkan, kompartemen teritorial merujuk pada kawasan nusa utara sebagai kabupaten kolektif berbasis kepulauan. Kawasan Nusa Utara adalah tiga kabupaten berbasis kepulauan dalam wilayah administrasi provinsi Sulawesi Utara. Kabupaten/kota lainnya selain kawasan nusa utara memiliki corak fisik sebagai wilayah daratan yang saling terhubung satu dengan lainnya. Berbeda dengan tiga kabupaten kawasan nusa utara yang bercorak wilayah kepulauan di regional perbatasan Indonesia.

Teritorial daratan yang saling terhubung satu dengan lainnya lebih mudah melakukan mobilisasi pembangunan. Distribusi logistik pembangunan antar wilayah daratan lebih mudah di lakukan. Sebaran infrastruktur publik vital lebih merata mendukung pertumbuhan ekonomi dan iklim investasi yang lebih kondusif. Dengan demikian, geliat ekonomi bisa berkembang baik memicu bertumbuhnya aglomerasi investasi lokal yang beragam dan potensial.

Berbeda dengan teritorial kepulauan seperti kawasan nusa utara, kendala inter konektivitas wilayah akan memicu konsekuensi upaya dan biaya pembangunan yang ekstra. Sisi urgensinya bukan cuma dari sisi penguatan ekonomi kawasan (regional prosperity), tapi juga dari sisi penguatan keamanan kawasan (regional security). Mengingat wilayah perbatasan sangat rentan dengan "trans-national crime" antar negara di wilayah perbatasan (border area). Keduanya, harus secara komplementer mengkontribusi penguatan kawasan nusa utara secara terintegrasi dan signifikan.

Kita harus mencermati perbedaan corak fisik wilayah ini. Karena, secara otomatis, pendekatan kebijakan pembangunan juga harus spesifik sesuai kondisi wilayah dan kebutuhan urgen masyarakat perbatasan (compatible with grass roots needs). Kondisi kepulauan perbatasan kerap terkendala dengan minimnya pasokan lokal, akibatnya untuk kebutuhan pasokan lokal harus melakukan impor dari luar daerah. Rantai pasokan impor ini biasanya akan bertumpuk dari produsen, akibatnya memicu "over lapping suppliers", secara otomatis akan membuat kontraksi inflasi di daerah.

Kondisi perbatasan lainnya, minimnya pemerataan infrastruktur publik vital, membuat iklim investasi lokal masih jauh dari kondusif. Butuh upaya pembenahan secara ekstra agar bisa menarik investasi dari luar ke daerah. Akibatnya, aglomerasi sektor swasta lokal lamban terbangun. Potensi lapangan kerja menyempit sehingga memicu arus urbanisasi di tingkat usia produktif dari wilayah kepulauan ke luar daerah cukup tinggi.

Nah, Jika payung kebijakan cenderung bersifat homogen, sedangkan kondisi fisik wilayah sifatnya heterogen, maka output pembangunan akan selalu terhambat dengan kendala. disparitas dan pemerataan.

Sebagai entitas nusa utara, apa yang harus kita lakukan?

Perlu ada sebuah inisiasi progresif dalam kemasan wadah "think tank" dengan isu sentralnya adalah kawasan nusa utara. Wadah think tank ini akan menjadi "terminal strategis" untuk menjaring lintas kemitraan dari pihak pemerintah pusat/daerah, TNI/POLRI, akademisi, swasta nasional/lokal, tokoh lintas masyarakat dan mahasiswa/pemuda. Termasuk juga melibatkan jaringan strategis dengan NGO (non government organization) yang terkait dengan isu sentral kawasan nusa utara.

Istilah "think tank" pertama kali muncul pada tahun 1782 di pelopori oleh Thomas Clarkson. Clarkson mendirikan komite perkumpulan masyarakat yang berjuang untuk menghapuskan perdagangan budak Afrika. Clarkson melakukan riset untuk menjelaskan kondisi real dari perdagangan budak. Komite yang di bangun Clarkson ini kemudian di kenal sebagai wadah "think tank" pertama.

Wadah semacam think tank mulai populer dan terus berkembang. Pada tahun 1831, Inggris mendirikan Royal United Service Institute (RUSI) yang di dirikan oleh Duke of Wellington dan berkantor di London. RUSI menjadi wadah think tank yang secara spesifik mengkaji isu dan kajian strategi militer dalam perspektif global.

Menurut The World Intellectual Big Dictionary, menjelaskan bahwa wadah think tank di kenal sebagai "bank otak" (brain bank), yang berperan sebagai kelompok intelektual yang aktif melakukan riset serta berperan sebagai konsultan bagi lembaga pemerintah atau non pemerintah. Dalam wadah ini, beranggotakan multi disiplin ilmu dan multi profesional. Wadah ini menjadi pusat para pakar dan aktivis dalam mempengaruhi rumusan kebijakan publik melalui konsepsi dan rekomendasi kebijakan publik strategis.

Dalam upaya inisiasi wadah think tank, kita perlu mencermati lebih dulu terkait kondisi klasik di Nusa utara. Kawasan nusa utara di kenal sebagai kawasan dengan koherensi kearifan lokal yang beragam dan sangat erat satu dengan lainnya. Tak heran, inisiasi paguyuban berbasis nusa utara cukup banyak menyebar di tingkat lokal maupun nasional.

Sayangnya, paguyuban nusa utara ini kerap bias dalam ruang geraknya di lapangan. Di setiap musim politik, paguyuban ini malah hanya menjadi "pelana politik" jangka pendek, dan akhirnya akan parkir di garasi saat rezim politik yang di dukung usai berkuasa. Paguyuban hanya menjadi "tunggangan temporer" tapi tak memainkan peran sebagai "navigator" menjembatani masa kini dan masa depan nusa utara. Tak heran, paguyuban ini menggunakan tema kultural yang sama, tapi malah menyuburkan friksi-friksi karena hegemoni perbedaan warna politik.

Wadah think tank cenderung bersifat independen tapi fleksible. Artinya, wadah think tank berperan dalam "battle of idea" (pertempuran gagasan) untuk merumuskan dan merekomendasikan konsep kebijakan publik yang di dukung tim pakar akademik secara komprehensif (peran independen). Dan di sisi lainnya, wadah think tank ini harus berperan fleksible sebagai "bridge" (jembatan) antara tim pakar akademik ke dalam aktor kebijakan dalam pusat kekuasaan politik.

Secara formal-strategis, wadah think tank menerjemahkan narasi dan rekomendasi kebijakan publik menjadi lebih mudah di cerna dan di terapkan oleh aktor kebijakan dalam pusat kekuasaan politik. Dengan adanya kolaborasi strategis antara wadah think tank bersama lembaga pemerintah (pusat/lokal) dan lembaga non pemerintah, akan mendorong adanya sistem kebijakan publik yang inovatif, solutif, berbasis riset, berkesinambungan dan membangun "peer review" bagi kemajuan bangsa.

Dalam ruang publik non formal, wadah think tank ini bisa berperan sebagai "katalisator" yang strategis dalam proses akulturasi literasi ke level masyarakat paling konvensional. Dengan kata lain, wadah think tank berbasis isu sentral nusa utara, bisa menjadi motor gerakan literasi untuk mencerdaskan masyarakat nusa utara, bukan saja pada leval masyarakat intelektual, tapi bisa masuk hingga ke level masyarakat paling konvensional.

Salah satu indikator kemajuan ekonomi sebuah negara adalah angka prosentase anggaran riset nasional. Indikator evaluatif anggaran riset nasional ini di sebut GERD (gross expenditure on research & development). Nilai GERD Singapura mencapai 2,2%, nilai GERD untuk Malaysia mencapai 1,2%, sedangkan Indonesia hanya pada angka 0,24%. Kompisisi belanja riset nasional untuk GERD Indonesia hanya di kontribusi oleh sektor pemerintah, itu pun kerap kali di kungkung dengan kasus korupsi.

Dengan adanya wadah think tank berbasis isu sentral nusa utara, bukan tak mungkin kita bisa memberi kontribusi pada peningkatan GERD nasional. Dengan merajut kemitraan riset bukan saja dari lembaga pemerintah, tapi secara profesional merangkul sektor swasta nasional/lokal untuk melibatkan diri dalam berbagai riset kebijakan publik. Dengan adanya upaya berkesinambungan ini, kita optimis bisa mendorong masyarakat nusa utara dan Indonesia dari level "resources driven state" menuju level "innovative technology driven state".

Makna "resources driven state" adalah populasi masyarakat dalam negara yang pertumbuhan ekonominya hanya bertumpu pada upaya ekstraksi sumber daya alam. Sedangkan, "innovative technology driven state" adalah populasi masyarakat dalam negara yang pertumbuhan ekonominya bertumpu pada peran sains dan teknologi tepat guna di berbagai bidang kehidupan masyarakat.

Akhir kata, perkataan Luxemburg yang saya kutip di alinea pertama menantang kita sebagai bagian dari entitas nusa utara, baik dari sisi entitas etnis maupun teritorial kepulauan dan perbatasan. Bahwa di butuhkan kebangkitan keberanian kolektif untuk bergerak secara fisik dan intelektual, dan secara mandiri atau kemitraan, atau juga secara swadaya maupun komersial.

Selanjutnya, secara cerdas mengemas semua warna gerakan progresif ini dalam kemasan wadah think tank. Secara bertahap melalui kekuatan kolektif nusa utara, dengan adanya wadah think tank, kita akan mulai bisa membaca secara jernih berbagai rantai marginalisasi, dan secara bersamaan menempuh jalan strategis memutus rantai tersebut. Dan, di amini akan mengkontribusi penguatan pembangunan Indonesia secara nyata dari beranda perbatasan di bibir Pasifik.

"Somage kai kehage, sansiote sampate-pate, pakatiti tuhema pakanandu mangena, boleng balang sengkahindo"

penulis adalah pendiri dan kolumnis dalam FORUM LITERASI MASYARAKAT

Kabupaten Kepulauan SangiheKabupaten Kepulauan Siau Tagulandang BiaroKabupaten Kepulauan TalaudMotivasiSulut

R1