Politik dan Perempuan
Politik dan Perempuan
Kehadiran perempuan di kancah perpolitikan tentunya bukan hal baru.
Politik di masa ini mampu menjadi konsumsi publik yang lumrah dibicarakan dan digeluti oleh siapapun.
Namun bagaimana sejatinya posisi perempuan dalam praktik politik praktis?
Kita mengenal adanya affirmative action keterwakilan 30 persen perempuan dalam pengajuan bakal calon anggota legislatif.
Ketentuan ini tertuang dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2017 pasal 245.
Namun apakah hak istimewa ini kemudian sudah menempatkan perempuan sesuai dengan kapasitasnya atau masih berkutat pada subjek pelengkap semata.
Pada kenyataannya affirmative action hanya berjalan pada substantif pemenuhan kuota perempuan.
Hal ini bisa dilihat salah satunya lewat pemberian nomor urut, di mana masih sedikit partai politik yang memberikan nomor urut 1 pada calon anggota legislatif perempuan.
Berapa bahkan ditemui bahwa keberadaan perempuan pada daftar calon benar-benar bukan karena adanya dorongan pribadi untuk maju berjuang.
Saya teringat saat masih bertugas di salah satu lembaga negara yang surat keterangannya menjadi syarat pencalegan.
Suatu ketika datang rombongan ibu-ibu yang ingin melakukan pemeriksaan guna mendapat surat keterangan.
Saat itu sebagai petugas saya melakukan wawancara terlebih dahulu terkait keperluan mereka.
Jawabannya cukup "lucu" untuk saya yang saat itu tidak paham sama sekali urusan perpolitikan.
"Nda tau, saya cuma disuruh sama si bapak A, saya mau disuruh ikut pemilihan, padahal tadi saya lagi masak, tapi disuruh cepat-cepat datang," jawab si ibu.
Jawaban polos yang mengundang tawa bukan?
Lalu apakah ini menandakan negara lalai memenuhi amanah Undang-Undang?
Opini saya, kelalaian terjadi di tubuh partai Politik sebagai lembaga yang paling berperan penting untuk menjalankan amanah undang-undang tersebut.
Sejauh ini penempatan peran kader perempuan belum sampai pada tingkat "penentu kebijakan" atau "pengambil keputusan".
Bagian perempuan masih sampai pada penyelesaian administratif ataupun hal-hal teknis.
Padahal sebagai kader partai politik seharusnya semua kader mendapat akses dan kesempatan yang sama tanpa memandang jenis kelamin atau latar belakang lainnya.
Bahkan masih ditemukan partai politik yang terhadap penempatan kader perempuannya masih terjebak pada citra fisik, bahwa perempuan ditempatkan di depan karena memiliki regulasi dan standar kecantikan masyarakat pada umumnya.
Ada juga standar keturunan, di mana perempuan bisa mendapat peran penting dalam partai politik ketika didalam dirinya mengalir darah biru penguasa atau pimpinan.
Suka tidak suka gambaran terkait hubungan perempuan dan Ppolitik memang belum sampai pada cita-cita dan amanah undang-undang.
Ada banyak hal remeh temeh lainnya yang akhirnya membuat peran perempuan di panggung politik menjadi terabaikan dan hanya di lirik saat dibutuhkan.
Padahal andai saja partai politik sebagai rumah asal mampu mengolah dan memberdayakan potensi kader-kader perempuannya dengan baik lalu diberi dan dibukakan ruang yang sama, tidak mustahil kita akan melihat ada banyak perempuan-perempuan hebat di panggung politik Indonesia.
Sayangnya, lagi-lagi masih banyak anggapan bahwa politik adalah dunia laki-laki.
Oleh: Nurjannah Seliani Sandiah,S.Psi