Simbiosis Politik "Playing Victim" dan Balkanisasi Politik Identitas dalam Pilpres 2024
Oleh:
Jerry F. G. Bambuta
(Founder FORUM LITERASI MASYARAKAT)
Politik "playing victim" adalah manipulasi isu dan realitas politik dalam posisi yang kelihatannya "terzolimi", padahal sebenarnya antara yang "menyerang" dan "di serang" bersumber dari sutradara yang sama, meskipun menggunakan aktor yang berbeda. Jenis politik memprovokasi keprihatinan akar rumput untuk meraih simpati publik secara manipulatif. Dengan harapan memicu efek polarisasi dukungan politik terhadap "pihak terzolimi".
Pola politik ini di manfaatkan sebagai alibi politik menyesatkan terhadap persepsi publik. Sehingga mata publik lebih melihat dengan keprihatinan penuh simpati daripada sadar dengan "borok-borok politik" yang penuh nanah membusuk. Jika praktek politik "playing victim" bersimbiosis dengan "politik identitas" akan membuat panggung politik nasional menjadi buas dan ganas. Efek manipulasi dari "playing victim" dan efek balkanisasi dari "politik identitas" bersenyawa dan mengancam demokrasi yang bermartabat.
Etika politik yang bermartabat dan menghargai kemanusiaan tidak akan lagi menjadi pembatas. Eksploitasi kompetisi politik hanya fokus "bagaimana berkuasa" dan mengabaikan peran politik untuk "membangun masyarakat". Perjudian politik demi meraup kekuasaan mutlak akan terjadi. Tatanan solidaritas dan eksisteksi pluralitas yang harusnya lestari akan tergadai demi tujuan politik ambisius.
Politik bukan lagi hanya sebatas bagian dari demokrasi yang lumrah, politik akan menjelma menjadi "arena tarung berbahaya" yang menentukan masa depan dari negara majemuk ini. Kita tidak bisa lagi berpangku tangan sebagai "silent majority". Kita tidak bisa lagi menutup mata dan telinga dalam penjara pesimisme dan apatisme.
Setiap jari telunjuk kita pada kertas coblos adalah dukungan politik dalam pilpres 2024, di mana dukungan tersebut akan sangat menentukan masa depan bangsa ini. Mari menjadi pemilih yang rasional, menetapkan dukungan dengan "fakta obyektif" dan bukan karena "sentimen identitas" yang irasional. Kita adalah negara "Demokratis" yang religius sebagai bangsa pluralis. Kita bukan negara "teokratis" yang menyunat hak pluralitas.
Pilpres 2024 akan menentukan masa depan bangsa yang majemuk di mana kita hidup. Masa depan Merauke sampai Sabang dan Miangas sampai Rotte akan sangat di tentukan. Bangsa besar ini butuh pemimpin yang paripurna dan teruji, bukan hanya sekedar populer dengan polesan retorika merangkai kata. Kita butuh sosok pemimpin yang tidak menjadi "boneka" dari dalang-dalang koruptif.
Kita butuh pemimpin yang siap menjadi pengayom terhadap tatanan solidaritas dan eksistensi pluralitas di setiap jengkal bumi Nusantara. Di tangan kepemimpinannya, slogan "NKRI HARGA MATI" akan lahir dari sebuah konsensus nasional yang adil, di mana keberagaman suku, agama, ras dan antar golongan akan duduk sejajar dalam atmosfer solidaritas yang erat dan tidak terpisahkan